Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang

Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang


KLIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan (Bobak, 2004:1024).
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk., 2009).
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata (Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence ( 2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua. (Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas,  saat bersin dan pada waktu batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra (Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak (2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak dapat ditahan sehingga terjadilah inkontinensia urine.
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan, populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).
Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak. (Adrianto P., 1991 : 175).
Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu (1990) dalam Vitriana (2002))
Terapi inkontinensia urin secara dini dan  rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan dasar panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama masa pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam mengatasi inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat fungsinya sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan stres inkontinensia di kemudian hari. (Bobak, 1995).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009  Kegel Exercise yang dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali.
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas Kegel exercise terhadap penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah : Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exercise terhadap penurunan kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a.     Mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan, partus dan paritas)
b.    Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum  intervensi dengan Kegel Exercise
c.     Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise
d.    Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang diberikan intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi

D. Manfaat Penelitian
1.     Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
2.     Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data awal dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
3.     Manfaat bagi Masyarakat (Ibu)
Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat memberdayakan ibu dalam mengatasi kejadian inkontinensia urine setelah melahirkan.

F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pada area keperawatan maternitas.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Bagian Bawah
Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra, berupa sfingter uretra interna yang terdiri atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran (evecuating). Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari korteks serebri.
Pada saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran urine terjadi kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi yang meningkatkan volumenya dengan mempertahankan tekanannya dibawah 15 cm H2O sampai volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut  sebagai komplians kandung kemih (bladder compliance).
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas kandung kemih terganggu, komplians kandung kemih menurun , yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003)

B. Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra
Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut aferen dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4 dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urine di dalam kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenai sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik  berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan terbukanya sfingter uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10 – L2) yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik  yang banyak terdapat pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik  yang banyak terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik  menyebabkan kontraksi, sedangkan pada  menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik  dan (2) kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik  yang betujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
            Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada saat miksi.
            Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi kandung kemih.
            Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intrauterina.
            Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi. Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine (Purnomo, 2003).

C. Anatomi dan Fisiologi Dasar Panggul
            Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum, fascia dan levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009). Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (Patrick H, (2002); Loetan F, (2006); Gosling J, (1999); dan Callahan, (2004)).
Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia, seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. (Vitriana, 2002).
1.   Otot Perineum Superfisial
Otot perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang menyebar ke arah luar tulang pelvis pada setiap sisi dari arah sentral tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan piramida otot dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus melekat pada korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris. Iskiokavernosus melekat pada tuberositas iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan korpus peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)

2. Levator Ani
Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat obliknya membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.
Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal (Roger R M, 2003).
Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum, membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital (Roger R M, 2003)
Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).
Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan seksual (Roger R M, 2003).
Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya : pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis serta puborectalis dan puboanalis. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis (Vitriana, 2002).

3. Fascia Dasar Panggul
Segitiga urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi ruang segitiga di bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang bagi vagina dan uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari sedikit serabut otot, disebut kompresor uretra dan peritoneum transversum profunda. Peritoneum transversum profunda melekat pada korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan dapat sangat tergang selama proses persalinan (Eileen, 2007)



4. Persyarafan
Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s Center”. Carlson memberikan bukti bahwa area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington’s center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam inhibisi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memainkan Game PS2 Melalui Slot USB Flashdisk

Cara membuat orgasme mengunakan jari tangan

Video Untuk Laki-Laki (Video For The Male)