Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang
Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang
KLIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan
dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak
sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada
proses persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung
dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang
berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami
kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan akibat cedera saat
melahirkan (Bobak, 2004:1024).
Kondisi-kondisi
pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi
inkontinensia urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis,
sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas
traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa
timbul akibat proses persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk.,
2009).
Retensi
urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya
kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan
terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau
memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis
pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan
predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa
hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi
urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini
disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin
ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang
disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan.
Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan
akan terjadi pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut
inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan
sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah
sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata (Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence (
2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu :
Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia
urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua. (Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)).
Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat
bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan
oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra (Bobak, 2004:1024). Kedua
jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada
ibu postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe
inkontinensia ini, yang disebut juga dengan inkontinensia urine campuran
(Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut
Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran
kandung kemih inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang
menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak (2004) menyatakan,
inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur
leher kandung kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan
penting dalam mempertahankan tekanan uretra ketika terjadi peningkatan
yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada
keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra
abdomen yang berfungsi mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak
didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak dapat ditahan
sehingga terjadilah inkontinensia urine.
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB)
menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah
sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara karena banyak
faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang
dipergunakan, populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).
Prevalensi
inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial.
Prevalensi yang rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan
karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang memalukan
dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).
Prevalensi
dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas.
Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia
35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita
usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada
wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada
wanita dengan 5 anak. (Adrianto P., 1991 : 175).
Secara
medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam
perineal, ulkus dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh
dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan pasien merasa malu,
terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989;
Wyman et al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan
untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika lebih dari 10 miliar dolar
dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987
(Hu (1990) dalam Vitriana (2002))
Terapi inkontinensia urin secara dini dan rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan dasar panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama masa pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise
merupakan saran utama dalam mengatasi inkontinensia urine stres dan
inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat fungsinya
sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise
adalah terapi non operatif yang paling populer untuk mengatasi
inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ
reproduksi dan memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise
harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar
panggul kembali ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur,
latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan stres inkontinensia di
kemudian hari. (Bobak, 1995).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar
panggul untuk mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75%
(Freeman, 2004). Ibu post partum dengan inkontinensia urine menetap
selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot
dasar panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang
tidak mendapatkan perawatan latihan (menurun sekitar 20%) untuk
melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin sering
dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk.,
2009). Berdasarkan penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang
Asih Semarang tahun 2009 Kegel Exercise yang
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya
penurunan frekuensi inkontinensia urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali
menjadi 6,19 kali.
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas Kegel exercise terhadap penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah : Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exercise terhadap penurunan kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan, partus dan paritas)
b. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum intervensi dengan Kegel Exercise
c. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise
d. Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang diberikan intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
2. Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Dapat
memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
kesehatan khususnya keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan
inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data awal
dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
3. Manfaat bagi Masyarakat (Ibu)
Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat memberdayakan ibu dalam mengatasi kejadian inkontinensia urine setelah melahirkan.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pada area keperawatan maternitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Bagian Bawah
Sistem
urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra
yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan
fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding)
urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa,
otot polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih
dan uretra, berupa sfingter uretra interna yang terdiri atas otot polos.
Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran (evecuating).
Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra
eksterna yang terdiri atas otot bergaris dari otot dasar panggul.
Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari korteks
serebri.
Pada
saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase
pengeluaran urine terjadi kontraksi otot detrusor. Selama pengisian
urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi yang meningkatkan
volumenya dengan mempertahankan tekanannya dibawah 15 cm H2O sampai volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut sebagai komplians kandung kemih (bladder compliance).
Jika
terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas
kandung kemih terganggu, komplians kandung kemih menurun , yang berarti
bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan menyebabkan kenaikan
tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003)
B. Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra
Sistem
saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf
aferen yang berasal dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf
eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut aferen
dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4
dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal
ini akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urine di dalam
kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra
mengenai sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra.
Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4
dibawa oleh nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor.
Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam
penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan
reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor
muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan terbukanya sfingter uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10 – L2)
yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra.
Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang letaknya berada di dalam
kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi, sedangkan pada menyebabkan
relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu
menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi
adrenergik dan (2) kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang betujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-4
yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris
sfingter eksterna dan otot-otot dasar panggul. Perintah dari korteks
serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada
saat miksi.
Pada
saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung
kemih bertambah besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu
menyebabkan stimulasi pada stretch reseptor yang berada di
dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak
tentang jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih
terisi separuh dari kapasitasnya, mulai dirasakan oleh otak adanya urine
yang mengisi kandung kemih.
Pada
saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik
yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher
kandung kemih), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot
detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul
keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan
menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatik yang
menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung
kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna
dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intrauterina.
Kelainan
pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada
fase miksi. Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan
urine tidak sempat tersimpan di dalam kandung kemih dan keluar melalui
kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan kelainan pada
fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai
terjadi retensi urine (Purnomo, 2003).
C. Anatomi dan Fisiologi Dasar Panggul
Dasar
panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum,
fascia dan levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009).
Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang memisahkan cavum pelvis di
sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk
oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh
fascia parietalis (Patrick H, (2002); Loetan F, (2006); Gosling J,
(1999); dan Callahan, (2004)).
Otot-otot
dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih.
Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan
cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus
istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada
pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung
kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap
peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia, seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. (Vitriana, 2002).
1. Otot Perineum Superfisial
Otot
perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang
menyebar ke arah luar tulang pelvis pada setiap sisi dari arah sentral
tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan piramida otot
dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus
melekat pada korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris.
Iskiokavernosus melekat pada tuberositas iskium dan klitoris. Otot
perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai
ke korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal
dan tertanam di bagian depan korpus peritoneum serta melekatkan diri
pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)
2. Levator Ani
Lapisan
dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang
terlindungi oleh fascia pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang
kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini terbagi dalam
iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus,
pubokoksigeus, dan puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis
dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat obliknya
membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.
Iskiokoksigeus
merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian
superior dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai
bagian levator ani, namun kerap pula dianggap sebagai bagian yang
terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta
membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus
muncul dari fascia di atas obturator internus dan spina iskia (Eileen,
2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator ani
(ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang
berjalan dari spina ischiadika ke permukaan posterior dari ramus
superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal
(Roger R M, 2003).
Serat
puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum
masuk ke bagian korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada
masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan sfingter anus
eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan
dirinya ke tulang koksik dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007).
Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya melewati
bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina,
rektum dan perineum, membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital
(Roger R M, 2003)
Serat
pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator
internal dan melekat ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot
pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis dan masuk ke
garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).
Ruangan
antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan
rektum disebut sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana
mereka bergabung pada garis tengah disebut sebagai lempeng levator. Otot
dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan penting
dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi
berkemih, defekasi dan seksual (Roger R M, 2003).
Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya : pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis serta puborectalis dan puboanalis. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan
untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat
dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis
(Vitriana, 2002).
3. Fascia Dasar Panggul
Segitiga
urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi
ruang segitiga di bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini
terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang bagi vagina dan
uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari
sedikit serabut otot, disebut kompresor uretra dan peritoneum
transversum profunda. Peritoneum transversum profunda melekat pada
korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan
dapat sangat tergang selama proses persalinan (Eileen, 2007)
4. Persyarafan
Otot-otot
diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem
persyarafan yang berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan
kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan inhibisi syaraf
otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan
Robertson menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks
miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistem syaraf yang menurun
(descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan
de Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke
kandung kemih berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s Center”. Carlson memberikan bukti bahwa area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington’s center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam inhibisi
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah sedia mengisi dengan santun