Peran Pendidik Sebagai Motivtor Tranfer Nilai Moral
PERAN PENDIDIK SEBAGAI MOTIVATOR TRANSFER NILAI-NILAI MORAL
PERAN PENDIDIK SEBAGAI MOTIVATOR
TRANSFER NILAI-NILAI MORAL
Oleh : Ahmad Abrar, S.Pdi, M.Pdi
“Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu,
maka dialah yang dinamakan besar dibawah kolong langit ini, ibarat
matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai diri sendiri, ibarat
minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiripun harum.
Siapa yang bekerja dibidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah
memiliki pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaklah ia
memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini.”[1] (al-Ghazali)
A. Latar Belakang
Dewasa ini, pendidikan Agama menjadi wacana publik (public opinion)
dalam mengentaskan permasalahan berbagai krisis moral yang telah
mengkristal di tengah-tengah masyarakat, mulai dari pelajar hingga
pejabat Negara. Berbagai potret kehidupan mencuat kehadapan kita pada
satu dasawarsa terakhir.
Melihat potret buram ini, sejumlah kalangan mengklaim bahwa ini
diantaranya disebabkan oleh gagalnya dunia pendidikan. Alasannya
pendidikan merupakan wadah untuk melahirkan manusia-manusia pelita zaman
yang mampu membawa masa depan bangsa ini dari jurang keterpurukan
akhlak dan moral. Artinya, tugas yang diemban institusi pendidikan,
khususnya institusi pendidikan Islam di era globalisasi ini semakin
berat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, pendidikan
Islam tidak hanya dituntut untuk transfer of knowledge, tetapi juga transfer of (Islamic) values.
“Hasil pendidikan mencerminkan keadaan pribadi dan masyarakat. Jika
kini kita mengeluh tentang kualitas dan perilaku peserta didik atau
masyarakat kita, maka tentulah ada yang salah dalam pendidikan kita,
baik kesalahan tersebut kita lemparkan pada kecanggihan iptek atau
revolusi informasi dan semacamnya, maupun karena kegagalan kita dalam
mendidik atau bahkan memahami apa yang kita maksud dengan pendidikan.”[2]
Anak didik adalah manusia yang membutuhkan pertolongan, bimbingan
dari orang dewasa (pendidik) untuk mencapai kedewasaannya. Karena ia
belum sempurna pemahaman dan pemikirannya tentang baik buruk
(nilai-nilai moral), maka ia memerlukan peran pendidik. Yaitu seorang
pendidik yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam
memotivasi anak didik, di samping memiliki kepribadian yang baik karena
ia sebagai sumber pengalaman tingkah laku dan objek perhatian anak
didik, mendidik dan membiasakan tingkah laku yang baik dan meninggalkan
yang buruk dengan memberikan penghargaan, pujian, hadiah, larangan,
hukuman, dan sebagainya, sehingga anak termotivasi untuk mengamalkan
nilai-nilai moral.
“Keputusan anak untuk berkehendak baik atau jahat hampir seluruhnya
tergantung pada motivasi yang telah dibangun di dalam dirinya
sebelumnya. Apabila ia telah termotivasi dengan baik, dia akan menerima
logika dari ajaran-ajaran yang diwariskannya dan bertahan terhadap
godaan.”[3]
Jadi jelaslah bahwa motivasi pendidik itu penting dalam membentuk
moral atau tingkah laku anak, karena motivasi mempunyai fungsi
membangkitkan, memberi kekuatan dan memberi arah terhadap tingkah laku
yang diinginkan
Berbicara masalah moral, maka tidak terlepas dari peran agama. Moral
merupakan suatu hal yang sangat penting, dan agama adalah pusat kendali
dari tingkah laku atau moral tersebut.
Zakiah darajat mengatakan bahwa :
“Kehidupan moral tidak bisa dipisahkan dari keyakinan beragama.
Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah,
karena keadaan tempat, dan waktu adalah nilai-nilai yang bersumber
kepada agama.karena itu dalam pembinaan generasi muda,perlulah kehidipan
moral dan agama itu sejalan dan mendapat perhatian serius.”[4]
Dengan demikian adalah merupakan keharusan bahwa pembinaan moral
harus dimulai dengan pendidikan agama, keutamaan moral / akhlak
merupakan salah satu hasil keimanan yang mendalam dan perkembangan
keagamaan dan menkristal.
Pendidikan moral dimulai sejak anak masih kecil hingga mencapai
kedewasaan. Anak yang kurang baik moralnya, sebenarnya bukan merupakan
dasar pembawaan,karena pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Namun akibat pengaruh lingkungan yang kurang baik, juga
kurangnya motivasi yang baik dari pendidik dan tidak berkesinambungan,
maka anak itu tidak bisa atau kurang mengerti bagaimana menjadi anak
yang baik sehingga ia mencari alternatif lain yang dapat menjadi
perhatian bagi lingkungannya.
Oleh karena itu bagi seorang pendidik, dalam melaksanakan transfer
nilai-nilai moral setidaknya terdapat tujuan untuk membimbing dan
mendorong anak untuk bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral
dengan metode tertentu, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar
anak dapat menemukan kediriannya sehingga dapat merealisasikannya di
tengah masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pertanyaan besar
bagi kita semua adalah bagaimana peran para pendidik dalam memotivasi
siswa terhadap pelaksanaan transfer nilai-nilai moral. Atas dasar hal
tersebut, maka rumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini antara lain :
- Apa urgensi pendidik sebagai motivator utama dalam transfer nilai-nilai moral?
- Bagaimana peran pendidik dalam memotivasi siswa terhadap pelaksanaan transfer nilai-nilai moral?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
- Untuk mengetahui urgensi pendidik sebagai motivator utama dalam transfer nilai-nilai moral.
- Untuk mendapat gambaran tentang peran pendidik dalam memotivasi siswa terhadap pelaksanaan transfer nilai-nilai moral.
Adapun kegunaan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
- Untuk menyumbangkan pokok-pokok pikiran kepada pembaca, khususnya guru agar lebih memotivasi murid-murid mengenai masalah moral.
- Supaya guru atau calon guru mengetahui bagaimana peranannya sebagai pendidik dalam melaksanakan transfer nilai-nilai moral, sehingga dapat memberikan motivasi yang baik dan tepat pada anak didik
D. Pembahasan
1. Urgensi Pendidik sebagai Motivator
Pendidik adalah orang dewasa yang berusaha memberikan pengaruh kepada
anak didik di mana saja dan kapan saja untuk mencapai kedewasaan anak
didik. Ia tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi juga transfer of value, selalu memberikan dorongan, arahan dan bimbingan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani maupun rohani.
Perlu diketahui, anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, oleh
sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakkan yang berbeda
dengan sifat kedewasan, yang menimbulkan didikan, dimana memiliki sifat
menggantungkan diri membutuhkan pertolongan, bimbingan, arahan dan
dorongan baik secara lahir maupun secara batin, disamping memiliki rasa
untuk menjadi seseorang atau sesuatu.
Dari segi konsep pendidikan Islam bahwa anak-anak merupakan amanat
dari Allah SWT, oleh karena itu tidak ringan beban pendidik selaku
penerima amanat disamping selaku orang tua dari Allah. Tentu saja yang
bernama amanat patut dipelihara dan dirawat sesuai dengan pesan yang
memberikan amanat, dalam hal ini ialah Allah SWT.
Pendidik atau guru, secara langsung atau tegas menerima kepercayaan
dan tanggung jawab yang diembankan terhadap anak didik. Sebab segala
prilaku dan budi pekerti hendaknya memberi contoh tauladan yang baik
bagi anak didik. Untuk itu pendidik harus terlebih dahulu memperbaiki
dirinya sebelum melakukan transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
kepada anak didik dalam proses belajar mengajar.
Dalam peranannya sebagai pendidik, seorang guru mempunyai beberapa tugas, yang bila diperinci berpusat pada:
- Mendidik anak dengan titik berat memberi arah dan motivasi (ekstrinsik) pencapaian tujuan, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
- Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
- Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri.[5]
Dengan demikian, dalam mendidik anak (mentransfer nilai-nilai),
pendidik mempunyai peran penting yaitu sebagai motivator; yang
memberikan dorongan, rangsangan, arahan, bimbingan kepada anak didik.
Demikian pula halnya dalam pelaksanaan transfer nilai-nilai moral ini,
“Mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak
didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai dalam dirinya,
sehingga akan lahir suatu sikap yang baik”.[6]
Pendidik sebagai sumber pengalaman tingkah laku sekaligus sebagai
objek perhatian anak didik haruslah memiliki kepribadian yang baik.
Motivasi yang timbul dari seorang pendidik yang kemudian
diaplikasikannya dengan mendorong anak didik untuk berbuat sesuai dengan
apa yang diharapkan, motivasi yang baik itu tidak akan muncul begitu
saja dari seorang pendidik/guru. Karena pada kenyataannya, tidak semua
guru/pendidik mampu memiliki apalagi untuk melaksanakan motivasi yang
baik. Hal ini tergantung kepada kepribadian guru itu sendiri, baru
kemudian faktor situasi dan kondisi yang memungkinkan motivasi itu dapat
terlaksana dengan baik dan penggunaan metode.
Setiap manusia memiliki kepribadian masing-masing sesuai dengan ciri
kepribadiannya. Ciri-ciri inilah yang membedakan dengan manusia
lainnya, begitu pula halnya dengan guru. Menurut Zakiah Daradjat bahwa:
“Kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (ma’nawi), sukar dilihat
atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau
bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam
tindakannya, ucapannya, cara bergaul, berpakaian, dan dalam menghadapi
setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat”.[7]
Jadi sebenarnya kepribadian itu adalah suatu masalah yang abstrak,
yang hanya dapat dilihat melalui penampilan, tindakan, ucapan, cara
bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan.
Kepribadian kadang diidentikkan dengan sifat. Ini dapat dilihat dari pendapat Abu Bakar Muhammad tentang guru:
“Mengingat pentingnya tugas guru, maka harus memiliki sifat-sifat
khusus yang memungkinkan pelaksanaan tugasnya dengan cara yang
sebaik-baik mungkin. Sifat-sifat itu diantaranya ada yang bertalian
dengan intelektualnya, ada yang berkaitan dengan sifat jasmaninya dan
ada yang bertalian dengan akhlaknya (Moralnya)”.[8]
Dalam hal ini penulis tidak membedakan antara “Kepribadian” dan
“Sifat”, karena sifat itu sendiri adalah bagian dari kepribadian.
“Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur
psikis dan fisik”.[9]
Pendapat Abu Bakar Muhammad di atas telah mencerminkan bahwa
kepribadian guru dilihat dari kedua unsur kejadian manusia, jiwa dan
raga/ psikis dan fisik. Kepribadian seseorang bersifat dinamis, berubah
secara evolusi. Terhadap kepribadian guru, dia harus sesuai dengan
persyaratan seorang guru, yang membedakan antara guru dari
manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1. Persyaratan administratif
Syarat-syarat admistratif ini antara lain meliputi: soal
kewarganegaraan (warga negara Indonesia), umur (sekurang-kurangnya 18
tahun), berkelakuan baik mengajukan permohonan. Disamping itu masih ada
syarat-syarat lain yang telah ditentukan sesuai dengan kebijaksanna yang
ada.
2. Persyaratan Teknis
Dalam persyaratan teknis ini ada yang bersifat formal, yakni harus
berijazah pendidikan guru. Hal ini mempunyai konotasi bahwa seseorang
yang memiliki ijazah pendidikan guru itu dinilai sudah mampu mengajar.
Kemudian syarat-syarat yang lain adalah menguasai cara dan teknik
mengajar, terampil mendesain program pengajaran serta memiliki motivasi
dan cita-cita memajukan pendidikan/pengajaran.
3. Persyaratan Psikis
Yang berkaitan denga kelompok persyaratan psikis, antara lain: sehat
rohani, dewasa dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan emosi,
sabar, ramah, dan sopan, memiliki jiwa kepemimpinan, konsekuen dan
berani bertanggung jawab, berani berkorban dan memiliki jiwa pengabdian.
Disamping itu guru juga dituntut untuk bersifat pragmatis dan
realistis, tetapi juga memiliki pandangan yang mendasardan filosofis.
Guru harus juga mematuhi norma dan nilai yang berlaku serta memiliki
semangat membangun. Inilah pentingnya bahwa guru itu harus memiliki
panggilan hati nurani untuk pengabdian demi anak didik.
4. Persyaratan fisik
Persyaratan fisik ini antara lain meliputi:Berbadan sehat, tidak
memiliki cacat tubuh yang mungkin mengganggu pekerjaannya, tidak
memiliki gejala-gejala penyakit yang menular. Dalam persyaratan fisik
ini juga ini menyangkut kerapian dan kebersihan, termasuk bagaimana cara
berpakaian sebab bagaimanapun juga guru akan selalu akan
dilihat/diamati dan bahkan dinilai oleh para siswa/anak didiknya.[10]
Mengingat bahwa kepribadian itu adalah organisasi yang dinamis, maka
seorang guru yang profesional berbeda kepribadiannya dengan guru yang
masih muda. Namun demikian tetap pada dasarnya yang sama yaitu
kepribadian guru.
Baik buruknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Apalagi
seorang guru masalah kepribadian merupakan faktor yang menentukan
berhasil tidaknya ia melaksanakan tugas sebagai pendidik.
Dalam hal ini Zakiah Dardjat menjelaskan bahwa:
“Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya.
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah menjadi perusak atau
penghancur bagi hari depan anak didik, terutama anak didik yang masih
kecil (tingkat Sekolah Dasar) dan mereka yang sedang menghadapi
kegoncangan jiwa (tingkat menengah)”.[11]
Seorang guru harus memiliki dan menampilkan kepribadian yang baik
tidak hanya di sekolah , ketika ia melaksanakan tugasnya tetapi juga di
luar sekolah (Masyarakat). Hal ini adalah untuk menjaga wibawa dan citra
guru sebagai pendidik yang selalu digugu (ditiru) oleh anak didik atau
masyarakat..
Citra guru berubah sesuai dengan perubahan sosial kultural masyarakat
sehingga citra guru larut dalam perubahan. Namun seberapa jauh
perubahan itu tergantung dari guru itu sendiri. Guru dituntut untuk
mampu memfilter nilai-nilai/kebudayaan-kebudayaan dalam masyarakat,
mengambil dan meninggalkan yang buruk, itulah tindakan yang bijaksana.
Guru yang sadar akan tugasnya sebagai pendidik tidak akan mudah terbawa
ke dalam arus perubahan sosial kultur yang negatif, sebab ia menyadari
bahwa semuanya itu hanya akan merusak kewibawaan dan citranya sebagai
pendidik. “Kepribadian adalah cermin dari citra guru dan akan
mempengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Oleh sebab itu
kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat
seorang guru”.[12]
Seorang pendidik yang baik dan memiliki loyalitas dan dedikasi yang
tinggi akan selalu memenuhi /melaksanakan semua persyaratan guru terus
menerus berusaha memantap kepribadiannya sehingga benar-benar menjadi
seorang yang berkepribadian guru. Bila hal ini sudah tertanam dalam diri
seorang guru, maka secara otomatis akan berhasil setiap usaha
melaksanakan proses belajar mengajar. Anak didik akan menjadikannya
sebagai teladan, menghormati dan mentaati perintahnya sehingga mudah
bagi anak didik untuk menerima pelajaran yang diberikannya dan dengan
senang hati untuk mengamalkannya.
2. Peranan Pendidik dalam Memotivasi Siswa terhadap Transfer Nilai-Nilai Moral
Motivasi pendidik merupakan motivasi yang diberikan oleh pendidik
kepada anak didik (motivasi ekstrinsik). Pendidik yang dimaksud adalah
pendidik profesional yaitu seorang guru, guru yang tidak hanya berperan
sebagai pengajar tetapi ia juga berperan sebagai pendidik yang
mentransfer nilai-nilai moral kepada anak didik.
Dalam perkembangan moral, anak didik dirangsang oleh lingkungan
dengan usaha-usaha yang aktif untuk merangsang nilai moralnya.
“Nilai-nilai moral yang dimiliki seorang anak lebih merupakan sesuatu
yang diperoleh anak dari luar. Anak belajar dan diajar oleh
lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan
tingkah laku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik.”[13]
Salah satu lingkungan anak didik tersebut adalah lingkungan sekolah,
dimana guru atau pendidik merupakan sentralnya. Guru yang digugu dan
ditiru diharapkan dapat memberi dorongan, arahan dan bimbingan kepada
anak didik untuk bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral. “Anak
didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi, yang sifat-sifatnya mesti
dibentuk dan dituntut olehnya untuk mengenal peraturan moral yang dianut
oleh masyarakat”.[14]
Uraian di atas menyatakan pentingnya motivasi pendidikan dalam
memembentuk pribadi atau moral anak didik. Hal ini dipertegas oleh
Tugiyarso yang menjelaskan bahwa :
“Keputusan anak untuk berkehendak baik atau jahat hampir seluruhnya
tergantung pada motivasi yang telah di bangun di dalam dirinya sebelumn
Apabila ia telah bermotivasi dengan baik, dia akan menerima logika dari
ajaran-ajaran yang diwarisinya dan bertahap-tahap terhadap godaan”.[15]
Menurut Mustaqim dan Abddul Wahid bahwa :
” Didalam pendidikan, motivasi ialah seni merangsang perhatian pada
murid apabila tidak mempunyai perhatian, atau yang belum dirasakan oleh
murid atau menyempurnakan perhatiannya yang sudah ada supaya menjadi
perbuatan yang dikehendaki masyarakat. Memberi arah pada tingkah laku
yang di inginkan”.[16]
Dari penjelasan-penjelasan di atas nyatalah bahwa peranan motivasi dari seorang pendidik itu sangat penting yaitu sebagai :
- Pendorong ; mendorong timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku.
- Pengarah ; mengarahkan perbuatan kepada tujuan yang ingin di capai.
- Penggerak ; menggerakan, memberi kekuatan dalam melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan.
Untuk demikian, seorang pendidik hendaklah menggunakan motivasi atau
memotivasi anak didiknya dalam melaksanakan transfer nilai-nilai moral
ini, sehingga anak didik termotivasi untuk berbuat atau bertingkah laku
sesuai dengan nilai-nilai moral.
Oleh karena itu, di dalam penanaman atau mentransfer nilai-nilai moral, diperlukan motovasi pendidik. Sardiman A.M mengatakan
“Mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak
didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya,
sehingga akan lahir suatu sikap yang baik”.[17]
Dari uraian diatas, dapat diambil pengertian bahwa dalam mendidik
yaitu mentransfer nilai-nilai pada anak didik peran motivasi pendidik
sangat penting termasuk didalamnya transfer nilai-nilai moral dimana
anak didik didorong, dibimbing dan diarahkan untuk memiliki sikap atau
tingkah laku yang baik.
Menurut Sardiman ada dua macam motivasi, yaitu :
- Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau fungsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
- Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya peransang dari luar.[18]
Berdasarkan pendapat diatas, penulis menyimpulkan bahwa motivasi
intrinsik merupakan motivasi yang didalamnya aktifitas belajar dimulai
dan dilaksanakan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri individu,
sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan adanya dorongan dari luar dimana
bentuk motivasi ini aktifitas belajarnya berdasarkan dorongan dari luar
individu. Pada motivasi ekstrinsik inilah pendidik memainkan perannya
yaitu memberi motivasi pada anak didik, dimana sebagian besar dari
nilai-nilai moral yang dimiliki anak didik berasal dari motivasi yang
diberikan oleh pendidik.
Sebagaimana yang dikemukan oleh Gunarsa bahwa :
“Nilai-nilai moral yang dimiliki seorang anak lebih merupakan sesuatu
yang diperoleh dari luar. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya
mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkah laku
yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik”.[19]
Kemudian menurut Tugiarso menjelaskan :
“Keputusan anak untuk berkehendak baik atau jahat hampir seluruhnya
tergantung pada motivasi yang telah dibangun di dalam dirinya. Apabila
ia telah termotivasi dengan baik, ia akan menerima logika dari
ajaran-ajaran yang wariskannya dan bertahan terhadap godaan”.[20]
Jadi, nilai-nilai moral yang dimiliki anak didik sebagaian besar
berasal dari luar yaitu lingkungan. Salah satu lingkungan tersebut
adalah lingkungan sekolah dimana guru atau pendidik merupakan setralnya.
Oleh karena itu diperlukan seorang pendidik yang memiliki pengetahuan,
pemahaman dan ketrampilan sehingga mampu memberikan motivasi pada anak
didik. Dalam hal ini Sardiman A.M menjelaskan bahwa :
“Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku, dan kepribadian anak
didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam mendekatkannya. Untuk
ini membutuhkan kecakapan mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak
lupa dengan menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau
model. Pembentukan sikap mental dan prilaku tidak terlepas dari soal
penanaman nilai-nilai moral. Oleh karena itu guru tidak sekedar
“pengajar”, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan
nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu,
anak didik atau siswa akan tumbuh kesadaranya dan kemauannya, untuk
mempraktek segala sesuatu yang sudah di pelajarinya. Cara berinteraksi
atau metode-metode yang dapat digunakan minsalnya dengan diskusi,
demonstrasi dan sosial drama”.[21]
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam
mentransfer atau penanaman nilai-nilai pengetahuan termasuk didalamnya
nilai-nilai moral membutuhkan kecakapan seorang pendidik dalam
mengarahkan motivasi disamping dirinya sebagai contoh teladan serta
menggunakan berbagai metode.
E. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
- Motivasi pendidik penting yaitu sebagai pendorong, pengarah, dan penggerak bagi anak didik untuk bertingkah laku atau berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral, sedangkan pendidik sendiri berperan sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku dan menjadi figur yang dicontoh dan diteladani anak didik.
- Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung pelaksanaan transfer nilai-nilai moral, seorang pendidik mempunyai kepribadian yang baik, mampu memilih dan menggunakan materi dan alat, sehingga proses dalam mentrasper nilai-nilai moral berjalan dengan biak dan sukses.
- Peran pendidik dalam memotivasi siswa dalam pelaksanaan transfer nilai-nilai moral ini sangat penting karena keputusan anak untuk berkehendak baik atau jahat hampir seluruhnya tergantung pada motivasi yang telah dibangun di dalam dirinya. Apabila ia telah termotivasi dengan baik, ia akan menerima logika dari ajaran-ajaran yang wariskannya dan bertahan terhadap godaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib Mustaqim, (1991). Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta
Abu Bakar Muhammad, (1981) Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, Surabaya : Usaha Nasional
Ahmad dkk, (1991) Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipata,
M. Athiyah al-Abrasyi, (1967) Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
Quraish Shihab, (2001) Pendidikan Agama, Etika dan Moral, Majalah Mimbar Pendidikan
Sardiman, (1996), Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja Garafindo Persada
Singgih D Gunarsah, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (tp : BPK Gunung Mulya, 1995
Syaiful Bakri Djamsah, (1994) Prestasi Belajar Kompetisi Guru, Surabaya: Usaha Nasional
Tugiyarso, (1990) Mendidik dengan Kasih, Yogyakarta : Kanisius
Zainuddin dkk, (1991) Seluk Beluk Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara
Zakiah Daradjat, (1979) Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang
Zakiah Daradjat, (1983) Kepribadian Guru, Jakarta : Bulan Bintang
[1] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 135-136
[2]
Demikian disampaikan Quraish Shihab dalam salah satu tulisannya yang
dimuat Mimbar Pendidikan bertajuk “pendidikan Agama, Etika dan Moral”
(2001: 19)
[3] Tugiyarso, Mendidik dengan Kasih, (Yokyakarta : Kanisius, 1990), h. 88
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 155
[5] Ahmad dkk, Psikologi Belajar (Jakrta : Rineka Cipata, 1991), h. 53
[6] Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Raja Garafindo Persada, 1996), h. 54
[7] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 16
[8] Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, (Surabaya : Usaha Nasional, 1981), h. 69
[9] Syaiful Bakri Djamsah, Prestasi Belajar Kompetisi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), h. 58
[10] Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, h. 125
[11] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, h. 16
[12] Syaiful Bakri Djamash, Prestasi Belajar Kompetisi Guru, h. 58.
[13] Singgih D Gunarsah, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (tp : BPK Gunung Mulya, 1995), h. 61
[14] Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h. 51
[15] Tugiarso, Mendidik dengan Kasih, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 88
[16] Abdul Wahib Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), h. 6
[17] Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, h. 54
[18] Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar h. 90
[19] Singgih Gunarsah dkk, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 62
[20] Tugiarso, Mendidik dengan Kasih, h. 88
[21] Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, h. 30
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah sedia mengisi dengan santun