Mungkinkah Menjemput yang Tertinggal?
kompos 085729235186
“Masih dalam bulan Ramadhan. Banyak hal yang tertinggal dan masih dalam penjemputan. Entahlah, apakah setelah dijemput, hal yang tertinggal itu masih berada di tempatnya sehingga bisa segera dimiliki ataukah sudah aus dan menghilang lantaran kelamaan terabaikan.
”Ya, saya harus bisa”. Itu barangkali hanyalah sebuah kalimat penyemangat untuk diri agar tetap tekun, tetapi kembalilah lagi saya dengan kesadaran akan seberapa besar potensi diri yang dapat digali. Hmmm. Ternyata diri ini membutuhkan lebih dari yang ada untuk bisa mewujudkan keinginan saya yang bisa digolongkan muluk ini. Saya ingin menangis juga ingin tertawa sekaligus. Aduhai, betapa mirisnya, di usia ini barulah mendapatkan kesempatan. Tapi tidakkah saya seharusnya tersenyum penuh rasa syukur, karena pada akhirnya ada jalan yang terbuka di depan untuk saya lalui menuju sebuah alamat di mana keinginan ajaib itu bermukim.”
Iseng membuka catatan-catatan pendek yang biasa saya ketik di notepad. Bertemulah dengan sebuah tulisan pendek -yang tertulis di bulan Ramadhan lalu- di atas yang saya beri judul “Mengambil yang Tertinggal”. Sedang membacanya saya jadi seperti terbangun dari tidur. Saya langsung ingat betapa senang dan bersemangatnya saya ketika menulis itu. Meski terbumbui pesimisme bahwa saya sebenarnya tak berkemampuan untuk menjadi sesuai yang diangankan. Ah, ya sudahlah, kata saya berat dengan helaan napas dan mata yang nyaris berair. Masih ingat kok, bener. Oh, dear.
“Masih dalam bulan Ramadhan. Banyak hal yang tertinggal dan masih dalam penjemputan. Entahlah, apakah setelah dijemput, hal yang tertinggal itu masih berada di tempatnya sehingga bisa segera dimiliki ataukah sudah aus dan menghilang lantaran kelamaan terabaikan.
”Ya, saya harus bisa”. Itu barangkali hanyalah sebuah kalimat penyemangat untuk diri agar tetap tekun, tetapi kembalilah lagi saya dengan kesadaran akan seberapa besar potensi diri yang dapat digali. Hmmm. Ternyata diri ini membutuhkan lebih dari yang ada untuk bisa mewujudkan keinginan saya yang bisa digolongkan muluk ini. Saya ingin menangis juga ingin tertawa sekaligus. Aduhai, betapa mirisnya, di usia ini barulah mendapatkan kesempatan. Tapi tidakkah saya seharusnya tersenyum penuh rasa syukur, karena pada akhirnya ada jalan yang terbuka di depan untuk saya lalui menuju sebuah alamat di mana keinginan ajaib itu bermukim.”
Iseng membuka catatan-catatan pendek yang biasa saya ketik di notepad. Bertemulah dengan sebuah tulisan pendek -yang tertulis di bulan Ramadhan lalu- di atas yang saya beri judul “Mengambil yang Tertinggal”. Sedang membacanya saya jadi seperti terbangun dari tidur. Saya langsung ingat betapa senang dan bersemangatnya saya ketika menulis itu. Meski terbumbui pesimisme bahwa saya sebenarnya tak berkemampuan untuk menjadi sesuai yang diangankan. Ah, ya sudahlah, kata saya berat dengan helaan napas dan mata yang nyaris berair. Masih ingat kok, bener. Oh, dear.
Pada detik ini saya sedang mengumpulkan sisa
semangat yang sudah melorot turun dari singgasananya. Inginnya membuat
tekad kuat berakar, namun saat ini justru sadar bahwa tekad kemarin
hanyalah berakar serabut yang membuatnya condong nyaris tumbang tatkala
terhembus tiupan angin yang sedikit kencang.
Memang belum tumbang, namun kecondongan yang
memiriskan itu mengharuskan diri untuk secepatnya mencari tonggak
penopang agar serabut menguat kokoh. Kendatipun tak seberapa kuat, namun
tonggak yang kuat akan bisa mengamankan dan menjamin keberlangsungan
tekad tetap terpancang.
Pertanyaan mungkinkah menjemput yang
tertinggal, pada akhirnya berpulang ke diri saya sendiri. Seberapa
terjaga saya saat melangkah sehingga dapat dipastikan diri ini akan
berproses perlahan mencapai keinginan. Pada suatu titik terkadang
berpikir juga, tidakkah seharusnya ini saya resapkan sejak kecil agar di
usia ini keinginan itu bukanlah lagi pemandangan indah nun jauh di sana
yang membutuhkan skill dan perjuangan untuk bisa menyentuhkan indera ke
permukaannya. Tapi, fokus saja ke masa kini untuk berusaha
menggapainya, semampunya, itu saja. Lucu, kenapa terkesan ngoyo, ya?
Hmmm. Tersenyum kecut. Tidak apa-apa. Saya
hanya menebak bahwa saya akan kembali ditodong pertanyaan yang sama
seperti kemarin; “bicara apa dirimu?”. Maka akan saya katakan,”sudahlah
tak perlu dibahas, tahu sendiri saya ini seperti apa, bukan?” Saya biasa
berpuisi, Sayang. Itulah sebabnya kau terus mengkritik betapa misteriusnya tulisan saya,
, maksudnya betapa tak jelasnya tulisan saya ini. Bahkan di awal saya
belajar menulis di blog, paragraf saya hanya berisi kalimat
terpatah-patah dan pelit kata-kata. Jika sekarang bisa menulis lebih
panjang juga karena dirimu juga yang memberikan dorongan
berlimpah. Juga keberadaan seorang adik yang diam-diam menjadi teladan
bagi saya dan belum saya temukan lagi padanannya.
Thus, biarlah ini menjadi tulisan yang saya
pilih berbentuk seperti ini, sederet kalimat tak jelas, namun saya yakin
masih tertangkap baik buat yang menyimaknya dengan baik, kendati tidak
saya tuliskan secara spesifik apakah hal yang dibahas di dalamnya. Ada
kalanya saya ingin menulis semuanya secara biasa, ada saatnya saya ingin
menulis dengan cara saya sendiri tak peduli jika hanya membuahkan tanda
tanya padamu. Hihihi. Tidakkah itu bagus? Kan ada hal yang bisa kita bahas nantinya. Begitu… But keep telling me if you find any mistakes, yes, as usual.
by : cerita
kutip : umukamilah.wordpress

Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah sedia mengisi dengan santun